Salah satu hidangan terkenal di Solo mendapat perhatian besar lantaran tidak memenuhi standar halal, fakta ini baru ditemukan lebih dari 50 tahun sejak kedai tersebut didirikan.
Ayam Goreng Widuran merupakan sebuah restoran terkenal yang sudah eksis sejak tahun 1973 di Jebres, Solo, Jawa Tengah.
Tempat makan ini menarik perhatian banyak orang karena mengandalkan bahan tidak halal pada hidangan ayam goreng kremesnya yang jadi spesial mereka.
Setelah ramai di media sosial, kini di sejumlah titik rumah makan tersebut kini ditemukan tanda bertuliskan ‘Kremes Non Halal’.
Akibat dari skandal makanan tidak halal ini, Wali Kota Solo, Respati Ardi, memerintahkan penutupan sementara tempat makan itu.
Salah seorang penduduk Surakarta dari organisasi Majelis Ulama Islam (MUI) Cabang Surakarta, Muhammad Burhanuddin, telah mengajukan laporan terkait penggunaan bahan bukan halal seperti daging ayam goreng di Warung Widuran ke ranah hukum.
Manajemen Ayam Goreng Widuran sudah menyampaikan permohonan maaf, tetapi menurut Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), hal tersebut belum mencukupi.
Oleh karena itu, seperti yang disampaikan oleh Ketua FKBI, Tulus Abadi, tindakan Ayam Goreng Widuran telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dikerjakan dengan sengaja.
‘Kami tidak tahu jika menggunakan minyak babi’
Kontroversi terkait dengan menggunakan bahan bukan halal menjadi viral sesudah diposting oleh akun @pedalranger di platform media sosial bernama Thread.
Dalam postingan itu disebutkan bahwa keripik ayam goreng tersebut memuat bahan dasar yang tidak halal.
Setelah mendapat perhatian besar dari media sosial, beberapa konsumen Ayam Goreng Widuran yang beragama Muslim merasa kecewa setelah mengetahui bahwa makanan yang mereka konsumsi ternyata haram.
Untuk para pemeluk Islam, dilarang keras untuk memakan atau meminum sesuatu yang tidak halal.
Ari Sunaryo, warganya dari Solo dan juga umat Muslim, merasakan kekecewaannya setelah beberapa kali membeli ayam goreng kremes di sebuah restoran yang berada di depan gedung Gereja GBI Keluarga Allah, Widuran, Solo.
“Kami tidak mengetahui hal ini karena tidak adanya penjelasan mengenai status haram atau halal. Kami merasa sangat kecewa jika menggunakan minyak babi tanpa disadari,” ungkap Ari saat berbicara dengan wartawan di Solo, Fajar Sodiq, yang melakukan pelaporan tersebut.
BBC News Indonesia
, Senin (26/05).
Dia menyatakan bahwa cita rasa dari ayam goreng kremes Widuran betul-betul lezat dan nikmat.
Terlebih lagi rasanya kremesan—sepotong adonan tepung yang digoreng sampai kering dan crispy—yang betul-betul lezat dan gurih di lidah.
Sesudah mendapati bahwa kremsan tersebut terbuat dari bahan non-halal, dia merasa agak kesal lantaran pihak pengelola Rumah Makan Ayam Goreng Widuran tak menyampaikan informasi kalau hidangan tersebut sebenarnya bukan halalan thoyiban.
“Tidak ada informasi tentang halal atau tidaknya makanan. Kami dengan senang hati mengundang teman-teman untuk makan di sini karena rasanya lezat, tetapi setelah mengetahui bahwa itu bukan halal sungguh sangat kecewa,” katanya.
Setuju, Wali Kota Solo, Respati Ardi, merasa kecewa bahwa rumah makan terkenal ini tidak memberikan penandaan halal meskipun sudah lama beroperasi. Dia menunjukkan keprihatinan karena ada banyak pembeli Muslim yang sering memesan ayam goreng kremes dari tempat itu.
” Ini telah terjadi selama 50 tahun. Saya sangat kecewa dengan hal ini karena ia mempengaruhi persatuan antarumat beragama,” ungkap Respati pada hari Senin (26/05).
“Kedua, perlindungan terhadap konsumen sangatlah vital. Konsumen harus diberi jaminan bahwa mereka memiliki hak untuk memperoleh informasi mengenai produk yang dibeli sesuai dengan deskripsinya,” ungkapnya.
‘Hanya kremesan yang haram’
Seorang pekerja dari Rumah Makan Ayam Goreng Widuran bernama Nanang, mengatakan bahwa pihak manajemen tempat kerjanya merasa bertanggung jawab dan segera memberikan klarifikasi setelah terjadi kontroversi tentang halal yang beredar di media sosial.
Lansung memberikan penjelasan,” kata orang tersebut, yang sudah memulai pekerjaannya di restoran itu sepuluh tahun silam, “[Karena] kami merasa bertanggung jawab atas hal ini.
Setelah itu, menurut Nanang, pihak pengelola kemudian menyertakan tanda tidak halal di beberapa bagian restoran.
Nanang mengklaim bahwa hanya kremesan saja yang terbuat dari bahan dasar tidak halal, sedangkan ayam gorengnya tetap sesuai dengan syarat-syarat halal.
Minyak yang dipakai untuk menggoreng ayam goreng, menurut Nanang, bukanlah minyak babi melainkan minyak goreng kualitas premium.
“Cuma kremesan yang tidak halal saja. Sedangkan minyak untuk menggoreng ayam memang menggunakan merk Barco,” jelas Nanang.
“Kremesan terbuat dari bahan non-halal, yaitu minyaknya. Minyak tersebut tidak digunakan untuk menggoreng ayam. Sebaliknya, ini adalah minyak Barco,” jelasnya.
Akibat dari skandal terkait panganan non-halal tersebut, Wali Kota Solo, Respati Ardi, melaksanakan sidak mendadak di Rumah Makan Ayam Goreng Widuran pada hari Senin (26/05).
Inspeksi ini dilaksanakan berdasarkan peningkatan jumlah keluhan yang masuk dari publik seputar kontroversi menu di restoran tersebut.
Kehadiran wali kota—ditemani oleh Kepala Dinas Perdagangan Solo, Agus Santoso, serta Kepala Satpol PP Solo, Didik Anggono—cuma diterima sebagian kecil pegawai.
Meskipun sang pemilik warung tidak berada di tempat, Respati berhasil berbicara melalui saluran telepon yang dimiliki salah seorang pegawainya.
“Di sini saya menyarankan agar penutupan sementara dilakukan lebih dulu,” ujar Respati ketika sedang berkomunikasi via telpon dengan para pemilik restoran.
Ditutup sementara
Saat ini sedang dalam status penutupan sementara, lanjut Respati, OPD yang relevan akan melaksanakan inspeksi guna memastikan apakah makanan di restoran tersebut sesuai syariah atau tidak.
“Setelah itu kami akan mengevaluasi hasilnya bersama BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan), serta Kemenag (Kementerian Agama). Verifikasi ini dilakukan oleh OPD yang relevan sebelum akhirnya dapat dioperasionalkan kembali,” jelas Respati.
Bila benar dianggap halal, mohon diajukan. Jika sebaliknya, silakan mengajukan penolakannya.
“Pada intinyanya hari ini dapat diakhiri lebih dulu dengan melakukan penilaian kembali,” katanya.
Saat itu, Kepala Dinas Perdagangan Solo, Agus Santoto, menyebut bahwa proses penarikan contoh barang untuk diperiksa sudah dijalankan pada hari Senin (25/05).
“Contoh yang diambil tersebut adalah minyak, daging ayam segar, daging sudah masak, serta bumbu,” jelas Agus.
Menurut dia, tes itu sangat diperlukan agar bisa mengidentifikasi zat apa yang membuat ayam goreng kremes di warung makan tersebut haram.
“Justeru kami ingin mengetahui bagaimana unsur tidak halalnya terdapat di dalamnya agar ada kejelasannya. Hal ini hanyalah pernyataan dari pihak concerned, tetapi dengan kedatangan kami di sini, semoga bisa mendapatkan kepastian tentang aspek-aspek yang tidak halal tersebut,” katanya.
Meskipun demikian, ia masih belum bisa menentukan kapan hasil pemeriksaaan akan tersedia.
Dilaporkan ke kepolisian
Karena adanya kontroversi seputar makanan tidak halal, warga dari Solo dan juga anggota MUI Solo, Muhammad Burhanuddin, telah mengadukan Ayam Goreng Widuran kepada pihak berwajib.
Burhanudin yang ditemani oleh beberapa anggota pengurus Dewan Syariah Kota Surakarta mengunjungi Polresta Solo guna melapor terhadap pemilik warung makan itu pada hari Senin (26/05).
“Burhanuddin mengatakan bahwa dia merasakan tanggung jawab moral untuk turut serta khawatir tentang masalah-masalah yang ada,” saat berbicara di Polresta Solo pada hari Senin (26/05).
“Masalah Ayam Goreng Widuran secara terang-terangan mengganggu ketenangan umat Muslim di Solo, yang pada akhirnya memicu laporan kepada lembaga peradilan,” katanya tegas.
Burhanuddin merasa kecewa lantaran bertahun-tahun lampau, pengelola Rumah Makan Ayam Goreng Widuran selalu menyembunyikan fakta bahwa hidangan ayam goreng kremesannya menggunakan bahan dasar yang tidak halal.
“Sesudah cukup lama masyarakat Muslim mengeluh dikecohkan sebab informasi tersebut baru menjadi tren setelah mereka memproduksi barang dengan label non-halal, hal itu diduga melanggar aturan terkait kecurangan serta bertentangan dengan UU Perlindungan Produk Halal,” jelasnya.
Dia menyebutkan pula bahwa laporannya kepada polisi sudah dimuat dengan berbagai bukti, termasuk postingan di media sosial yang tengah menjadi perbincangan banyak orang akhir-akhir ini.
Tak cukup minta maaf
Pada hari Jumat (22/05), lewat akun Instagram resminya @ayamgorengwiduransolo, pengelola rumah makan secara akhir menyampaikan penjelasan resmi tentang kelayakan halal dari hidangan ayam goreng mereka.
“Untuk semua konsumen Ayam Goreng Widuran, kami mengucapkan permintaan maaf yang sungguh-sungguh terkait keributan yang tersebar di media sosial beberapa hari ini,” demikian pernyataan dari manajemen Ayam Goreng Widuran pada akun mereka itu.
Manajemen menyatakan bahwa tindakan mereka sebelumnya “memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat” dan mengakui telah “menyertakan label tidak halal dengan jelas” di setiap cabang resto tersebut.
Kami menginginkan agar publik memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan perbaikan dan pembenahan secara menyeluruh dengan niat yang tulus.
Menurut Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi, menyampaikan permintaan maaf merupakan hal yang penting, tetapi itu saja “belum cukup.”
“Karena apa yang telah dilakukan oleh Ayam Widuran sudah terjadi selama bertahun-tahun dan dengan disadari,” ujar Tulus Abadi melalui pernyataan tertulis yang diperoleh BBC News Indonesia pada hari Senin, 26 Mei.
Menurut Tulus, konsumen telah mengalami kerugian baik secara material maupun immaterial selama bertahun-tahun.
“Tidak hanya pelanggan Muslim saja, tetapi semua pelanggan karena sudah memakai produk yang tak sesuai dengan standar,” kata dia.
Menurut Tulus, tindakan restoran tersebut merupakan pelanggaran hukum, mencakup aspek perdata dan pidana.
“Diametral dengan aturan yang ada, pengelolaan peternakan Widuran menyalahi sejumlah peraturan hukum, terutama Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Tentang Kebijakan dan Pelaksanaan Perdagangan Berjangka Komoditi, serta Undang-Undang Jaminan Produk Halal, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindak penipuan,” katanya.
Karena itu, usaha polisi dalam mendukung keadilan harus dikerahkan untuk menyelidiki kasus tersebut.
Menuliskannya kemudian menyampaikan bahwa kontroversi makanan non-halal di Solo merupakan “tanda ketidaksopanan” dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, sepetuti Dinas Perdagangan dan Dinas Kesehatan, karena mereka “belum melaksanakan pemeriksaan dengan benar”.
Bukan baru sekali ini makanan non-halal diketahui terdapat di produk-produk makanan. Sebelumnya, ada sembilan merk camilan bersertifikasi halal namun ternyata memuat komposisi tak sesuai syarat kehalalan.
Tulus mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan indikasi adanya “masalah yang meluas,” terutama dalam hal pengawasan, termasuk pengawasan pra-pasar dan pasca-pasar.
“FKBI menuntut agar MUI serta Badan Penjamin Produk Halal (BPPH) memperkuat pengawasannya di lapangan,” tandasnya.
Tulus juga mengungkapkan masalah peraturan yang sering dimanfaatkan sebagai kesempatan bagi pelaku bisnis untuk melanggar aturan terkait produk halal.
Menurut Tulus dalam Undang-Undang Cipta Kerja, persoalan sertifikasi halal dapat dijalankan dengan cara tersebut.
self declaration
terutama bagi pengusaha skala kecil dan menengah.
”
Self declaration
sangat berpotensi dimanfaatkan tidak sesuai oleh pelaku bisnis, sehingga jenis sistem semacam ini kurang kuat dalam hal melindungi konsumen serta masyarakat pada umumnya. Terlebih lagi di masa serba digital ekonomi saat ini,” tegas Tulus.
- Debat tentang makanan Padang berbahan dasar daging babi: Cara yang tepat untuk melihat kulinernya di Indonesia.
- ‘Masalah dengan Klepon yang Tidak Islami’, apakah terdapat ‘makanan sesuai Syariah’ dalam ajaran Islam?
- Bagi UMKM, bagaimana dampak dari keharusan sertifikasi produk halal yang sah?
- Mengandung bahan dari babi, empat merek mie instant asal Korea diambil kembali
- Halal-haram Jakarta, mengapa pernyataan Gubernur Anies Baswedan menjadi masalah?
- Dari lemari es sampai produk kecantikan: Apakah sertifikat halal mengarah pada tren bisnis atau eksploitasi agama?
- Polemik tentang hidangan Padang yang menggunakan daging babi: Cara terbaik untuk menilai makanan khas Indonesia apa?
- ‘Masalah dengan Klepon yang Tidak Islami’, apakah terdapat ‘makanan sesuai Syariah’ dalam ajaran Islam?
- Bagaimana nasib pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan keharusan sertifikasi halal yang sudah diberlakukan?